Bagi mereka yang masih bersikeras dan menutup mata dan telinga terhadap risiko tinggi dari vaksin Covid sudah waktunya untuk bangun. Sampai kapan masyarakat mau sadar bahwa keselamatan jiwa dan kesehatannya dijadikan pertaruhan oleh para produsen vaksin berbahaya ini, selagi terus memperkaya kocek mereka dan memberikan dukungan kepada agenda yang tidak lagi ditutup-tutupi dari para globalis dunia. Korban yang berjatuhan sudah mencapai jutaan jiwa jauh melebihi korban Covid sesungguhnya yang meninggal.
Pada waktu-waktu sebelumnya dimana suatu metode pengobatan atau vaksin mengakibatkan kemaian tidak sampai sepuluh korban jiwa, pengobatan atau vaksin tersebut dengan serta merta dihentikan pemakaiannya. Tetapi hari ini, vaksin Covid makin menggila dipaksakan ke masyarakat oleh badan-badan pemerintah. Ada apa dibalik pemaksaan ini? Apakah berlebihan jika timbul kecurigaan adanya unsur korupsi yang sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu? Kecurigaan adanya kolusi kerjasama antara pemerintah, para pejabat dengan pabrik farmasi dan para globalis?
Media menjadi kaki tangan yang efektif di dalam propaganda dan penyebar ketakutan massal ini. Para pemimpin agama pun banyak yang tidak menyadari telah menjadi perpanjangan tangan agenda ini, mengikuti, menganjurkan dan komplisit dengan metode Orwellian1 ini. Hanya segelintir pemimpin agama di Amerika seperti pendeta John MacArthur dari Grace Community Church di Sun Valley, California yang berani menyuarakan ketidaksetujuan mereka, menentang kesewenang-wenangan pemerintah yang sudah bertindak seperti TUHAN, dan berdiri mempertahankan kelompok umat mereka dari penindasan tirani.
Sikap kesewenang-wenangan pemerintah menjadi bertambah-tambah saat mayoritas masyarakat dengan tanpa kekritisan berpikir bukan saja menuruti bahkan ikut-ikutan menekan anggota masyarakat lain yang tidak setuju dengan cara berpikir mereka. Hingga hari ini masih sangat banyak mereka, bahkan mereka yang tergolong berpendidikan tinggi, tetap mengenakan masker walau jelas tidak ada keabsahan bahwa masker yang dikenakan bermanfaat dalam mencegah penyebaran Covid.
Pemakaian masker dalam waktu berkepanjangan itu sendiri sudah berbahaya bagi kesehatan. Microplastic ditemukan pertama kalinya di paru-paru manusia, dicurigai diakibatkan oleh pemakaian masker yang tidak diketahui secara jelas prosedur produksinya dan bahan-bahan apa yang digunakan dalam produksi masker tersebut.
Partikel plastik ditemukan di dalam tissue 11 dari 13 pasien yang menjalani operasi, partikel plastik tersebut paling banyak berupa partikel polypropylene dan PET (polyethylene terephthalate) yang umum digunakan dalam produksi bahan pakaian termasuk masker yang hari ini dipakai masyarakat berjam-jam, kontainer plastik dan resin.
Bahkan mayoritas masih menjadi pembela dan memaksakan advokasi mereka bahwa vaksin Covid benar bekerja dalam mencegah kematian bagi mereka yang telah divaksin. Dalam kenyataannya mereka yang tidak divaksinpun banyak yang sembuh bahkan berhasil membangun kekebalan tubuh yang lebih baik dari mereka yang divaksin. Sementara mereka yang divaksin menjadi terkompromi kekebalan tubuhnya karena vaksin Covid. Pemberitahuan bahkan dari sumber-sumber resmi dunia medis dan pemerintahan itu sendiri akan bahayanya vaksin Covid tidak diindahkan, karena hingar bingarnya propaganda vaksinasi massal ini.
Satu berita dari ABC News (salah satu media liberal) bahkan terpaksa mengakui bahwa banyak dari yang divaksinasi meninggal karena Covid.
“A growing proportion of COVID-19 deaths are occurring among the vaccinated, a new ABC News analysis of federal data shows. In August of 2021, about 18.9% of COVID-19 deaths occurred among the vaccinated. Six months later, in February 2022, that proportional percent of deaths had increased to more than 40%.”
Proporsi meningkat dari kematian Covid-19 di antara mereka yang divaksin sekalipun, satu analisa baru dari ABC News diambil dari data federal menunjukkan hal itu. Di bulan Agustus 2021, sekitar 18.9% kematian yang diakibatkan Covid-19 terjadi atas mereka yang divaksin. Enam bulan kemudian, di bulan Februari 2022 angka tersebut meningkat menjadi lebih dari 40%.
Teman bahkan anggota keluarga menjadi bermusuhan dikarenakan perbedaan pendapat mengenai vaksin Covid ini. Ironisnya bagi mereka yang tidak divaksin tidak memaksakan orang lain untuk tidak juga divaksin melainkan hanya menghimbau dan memperingatkan teman atau anggota keluarga mereka untuk tidak mengambil vaksin berbahaya ini, akan tetapi di pihak mereka yang divaksin mayoritas memaksakan semua orang untuk divaksin dikarenakan ketakutan mereka akan tertularnya Covid.
Ketakutan sudah merajalela di hati banyak orang dan telah menciptakan suatu kondisi utopia bahwa dunia harus bebas dari penyakit dengan adanya vaksin ini. Dengan konsep berpikir seperti itu, maka dapat diharapkan mereka akan terus mengambil vaksin berkali-kali setiap kali ada penyakit flu baru muncul.
Seorang lulusan sarjana yang baru berusia 26 tahun meninggal disebabkan vaksin Covid yang membuatnya mengalami penggumpalan darah di otak, dua minggu setelah menerima vaksin Covid. Staf rumah sakit dimana lulusan sarjana ini menerima vaksin Covid menjamin bahwa tidak ada resiko apapun dengan mengambil vaksin Covid dari AstraZeneca. Resiko tinggi dari vaksin Covid ini sangat mengkuatirkan terutama bagi orang-orang muda. Di Indonesia sendiri banyak orang telah kehilangan kekritisan berpikir telah mengambil vaksin hingga 5-6 kali, seolah vaksin Covid itu seperti suntikan vitamin. Bukan cuma mereka di banyak negara melakukan vaksinasi ini terhadap diri sendiri bahkan merekapun menvaksinasi anak-anak (hingga para balita).
Tabel perbandingan akibat sampingan dari obat atau vaksin di atas dikutip dari data CDC (Center for Disease Control and Prevention) dan FDA (Food and Drug Administration) yang hingga hari ini terus ditutup-tutupi dan disensor oleh media-media utama seperti CNN. Jumlah kematian terbanyak terjadi dari akibat sampingan vaksin, dalam hal ini vaksin Covid hanya dalam waktu relatif jauh lebih singkat (17 bulan) telah merenggut jiwa lebih dari 1 juta korban, sementara vaksin flu lainnya juga melebihi korban dari obat-obatan lain yang ada dalam tabel di atas. Sementara Ivermectin dan HCQ walau cukup banyak korban akibat sampingan akan tetapi jumlah korban meninggal relatif jauh lebih sedikit dari korban meninggal per tahunnya dibandingkan dengan korban meninggal yang diakibatkan oleh Remdesivir.
Setelah begitu banyak laporan yang bisa ditelusuri kebenarannya walaupun disensor dan ditutup-tutupi oleh media, seharusnya lebih dari cukup untuk membangunkan masyarakat dari kelelapan khususnya masyarakat di Amerika, dan di Indonesia yang begitu bangga dianggap negara nomor satu di dunia dalam upaya menangkal Covid sehingga aturan-aturan yang tidak berdasar terus berlaku hingga hari ini.
Tulisan ini semata-mata opini penulis dan tidak mencerminkan opini dari Repikir.
Suatu situasi yang menggambarkan keadaan dimana pemerintah mengakibatkan kehancuran tatanan masyarakat yang bebas dan terbuka melalui tindakan yang bersifat tirani. Diambil dari nama George Orwell penulis buku berjudul “1984” yang memaparkan keadaan dunia yang dikendalikan secara total oleh pemerintah atas seluruh aspek kehidupan pribadi masyarakat.