Seperti kebanyakan Baby Boomers1, saya bertumbuh dengan bahagia terpaku pada pertunjukan Walt Disney yang memukau sejak saya baru bisa merangkak.
Tentu saja, saya menyukai kartun Mickey Mouse setiap kali saya ditempatkan di depan televisi hitam-putih merk Zenith. Beberapa tahun kemudian, saya akan tertawa dan bernyanyi bersama sebagai anggota Klub Mickey Mouse...merasa seperti Jimmy Dodd dan Annette Funicello benar-benar teman pribadi saya karena cara cerdik Walt Disney dalam menembus apa yang disebut "dinding keempat", sebuah konvensi pertunjukan di mana dinding imaginasi yang tak terlihat memisahkan antara aktor dari penonton.
Saat saya memasuki masa pra-remaja saya, acara televisi Disney masih memiliki cengkeraman mereka dalam diri saya ... ketika Guy Williams berlari melintasi layar TV berjubah hitam dan bertopeng sebagai "Zorro." (Tentu saja, hadiah Natal nomor 1 saya satu tahun adalah pedang Zorro resmi yang memiliki tambahan di ujung pedangnya di mana Anda dapat menempelkan sebatang kapur sehingga Anda bisa mencoret-coret "Z" di pinggir jalan.)
Kebanyakan orang Amerika berbagi ketertarikan saya dengan Walt Disney saat tahun 1960-an dibuka (peluncuran Disneyland di Anaheim, California) hingga tahun 1970-an (Walt Disney World di Orlando, Florida) dan film layar lebar yang sesuai bagi keluarga berkualitas yang tak terhitung jumlahnya termasuk film klasik seperti "Bambi," " Mary Poppins," "Cinderella" dan "101 Dalmations." Dalam dunia yang terus berubah yang dipenuhi dengan demonstrasi-demonstrasi Hak Azasi, perang Vietnam, pergolakan politik di kedua belah pihak dan kemunculan budaya narkoba "hippie", satu-satunya yang orang tua dan anak-anak selalu dapat diandalkan adalah bahwa merk Disney selalu aman bagi konsumsi seluruh keluarga.
Tapi keretakan mulai muncul di lapisan Disney ketika orang tua bermata jeli melihat "The Little Mermaid" tahun 1989 mengamati kemunculan sekejap kata "SEX" di gundukan pasir di bawah laut. Serta merta, mereka diejek sebagai "konservatif yang terlalu tegang" yang "terobsesi" atas gambar-gambar ... tetapi tidak ada yang pernah mencerca mereka yang sengaja penyimpangkan animasi dengan memasukkannya kata-kata kotor ke dalam film anak-anak. Beberapa tahun kemudian—di [film] “The Lion King” 1994—karakter Simba menyapu debu dengan cakarnya, dan lagi-lagi… kata “SEX” jelas muncul di langit malam. (Penjelasan konyol kali ini adalah bahwa animasi tersebut sebenarnya mengatakan "SFX" sebagai pesan alam bawah sadar untuk memberikan kehormatan kepada departemen Efek Khusus Disney.)
Tetapi membuktikan pepatah lama "Anda tidak bisa hamil sedikit," pintu banjir terus terbuka: outlet media massa milik Disney (termasuk televisi ABC dan ESPN) semakin memuat program mereka dengan hinaan anti-konservatif, termasuk tanpa henti menghina Trump melalui acara larut malam "pelawak" Jimmy Kimmel. Program seperti “Modern Family” dan lainnya tidak hanya menyertakan—tetapi juga merayakan setiap minggu—karakter gay dan LGBTQ. Baru-baru ini para komentator ESPN benar-benar membanjiri komentar atas kemenangan “Olahraga Untuk Wanita” oleh Lia Thomas, seorang yang lahir sebagai laki-laki yang mengklaim sebagai perempuan.
ABC News milik Disney adalah titik permulaan untuk "liputan" anti-Trump yang menampilkan "para wartawan" berhaluan kiri seperti Jonathan Karl, Martha Raddatz, David Muir, dan lainnya yang pendapat politik mereka menyamarkan sebagai penyampaian berita. Tapi oknum sebenarnya adalah mantan antek Gedung Putih Clinton, George Stephanopoulos... yang mengubah dirinya menjadi "wartawan" yang sekarang menjadi pembawa acara "Good Morning America" dan "This Week" hari Minggu.
Namun seperti yang akan dikatakan Ronald Reagan, Anda belum melihat apa-apa: para pekerja di divisi animasi 3-D Disney Pixar baru-baru ini keluar dari pekerjaan mereka karena ciuman sesama jenis dalam film animasi mendatang LIGHTYEAR diedit dari film. Alih-alih memberi para pekerja kesempatan 24 jam untuk kembali bekerja dan berhenti merengek, CEO Disney Bob Chapek menyerah kepada mereka dan ciuman sesama jenis akan dimasukkan kembali sebelum LIGHTYEAR dirilis ke bioskop. Menurut publikasi industri The Hollywood Reporter, salah satu aktivis kunci dalam jajaran Disney adalah Dana Terrace, yang dalam pernyataan yang tidak selaras dengan visi Disney, mengatakan "Saya sangat muak membuat Disney terlihat baik." Enak sekali, terutama karena dia adalah pencipta serial animasi Disney Channel "The Owl House" yang menampilkan banyak karakter LGBTQ. Sesungguhnya menjadikan lingkungan kerja yang tidak bersahabat.
Sementara itu, Chapek kini telah memasukkan The Disney Corporation ke dalam kontroversi Florida “Hak Orang Tua dalam RUU Pendidikan”… yang oleh kaum sayap kiri menyalah-artikan RUU “Jangan Katakan Gay”. Emosi yang memuncak ini sampai pada titik didih sehingga ketika istri saya Lori dan putra saya Ethan baru-baru ini memesan tumpangan Uber dari konvensi CPAC tahunan di Orlando…pengemudi mereka (yang mengidentifikasi dirinya sebagai guru sejarah sekolah negeri!) meracau ke arah yang tidak rasional umpatan terhadap Donald Trump dan kaum konservatif, dan pada satu titik mengancam akan menurun istri dan anak saya di jalan raya dan mengakhiri perjalanan mereka saat itu juga. Dan orang ini mengaku sebagai GURU SEJARAH.
Di mana semuanya akan berakhir? Tidak dalam waktu dekat ini. LA Magazine melaporkan bahwa Motion Picture Academy of Arts and Sciences akan mengeluarkan pedoman "woke" baru untuk pengiriman Oscar di masa depan. “Begini cara kerjanya: Mulai tahun 2024, produser akan diminta untuk menyerahkan penghitungan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, dan status kecacatan anggota pemeran dan kru film mereka. Jika film tertentu tidak memiliki cukup banyak orang kulit berwarna atau orang cacat atau gay atau lesbian yang bekerja di lokasi syuting—dan apa yang “cukup” akan ditentukan oleh rumus rumit Bizantium—maka film tersebut tidak akan lagi memenuhi syarat untuk Oscar.” Gila? Benar adanya. Sedang terjadi? Disayangnya begitu.
Yang membawa kita kembali ke realitas Disney hari ini. Dari CEO "woke" yang rabun hingga "anggota pemeran" yang terlibat secara politik, Disney World—yang pernah menjadi "Tempat Paling Bahagia Di Bumi" dan liburan impian bagi orang tua dan anak-anak—sekarang adalah taman hiburan yang memuakkan dan tidak dapat dikendalikan dengan sedikit atau bahkan tanpa "keajaiban" tersisa...kecuali ide Anda tentang sihir berdiri dalam antrean hingga dua jam untuk naik Rockin' Roller Coaster atau Hollywood Tower of Terror..hanya untuk menemukan bahwa mereka "sementara" tidak berfungsi pada saat giliran Anda. Tagihan untuk makan siang atau makan malam untuk keluarga dengan empat orang di restoran tempat duduk mana pun akan menyaingi tagihan terbaru Anda di Ruth's Chris Steakhouse atau The Palm. Memesan kamar untuk keluarga Anda ke Disney's Polynesian Resort akan membuat Anda membayar $800 per malam. Dan terus akan begitu.
Disney World—yang pernah menjadi impian setiap keluarga Amerika—sudah lama hilang. (Saya tahu, saya tahu… sampaikan ke Gedung Putih dan Joe Biden akan memberi tahu Anda bahwa harga tiket yang membengkak dan “skala yang merosot” dikarenakan kesalahan Vladimir Putin.)
PADA DASARNYA: Kombinasi keserakahan korporat dan kapitulasi tak bertulang terhadap rongrongan sayap kiri yang bodoh (seperti menuntut Disney menyingkirkan bajak laut yang mengejar wanita dari perjalanan klasik Pirates of the Caribbean karena dugaan atas pemikiran "mendorong pemerkosaan") telah mengalihkan Disney World dari taman hiburan bagi keluarga yang menyenangkan dan terjangkau menjadi lubang uang yang akan menghapus kenangan indah begitu tagihan kartu kredit mulai mengalir.
Secara pribadi, saya menyimpan kenangan indah masa kecil saya. Dan saya sangat, sangat senang bahwa Walt Disney sendiri tidak hidup cukup lama untuk melihat bagaimana kerajaannya yang dulu megah telah dihancurkan pada tahun 2022.
TOM TRADUP adalah Wakil Presiden/Pemrograman Berita & Bicara untuk Jaringan Radio Salem yang berbasis di Dallas. Dia dapat dihubungi di ttradup@srnradio.com
Diterjemahkan bebas dari artikel AMAC, 29 Maret 2022
Generasi yang lahir setelah era Perang Dunia Kedua.