Phoenix. Summerton. Chattanooga. Philadelphia. Anda mungkin telah melihat nama kota-kota ini digembar-gemborkan di berita utama pagi sebagai tempat-tempat dimana terjadi “penembakan massal” di akhir pekan ini, sebagaimana media melakukan upaya habis-habisan untuk mendorong agenda pengendalian senjata yang dilakukan oleh pemerintahan Biden.
Media aktivis memaksakan insiden ini sebagai “serangkaian penembakan yang menewaskan sedikitnya 15 orang dan lebih dari 60 lainnya terluka di delapan negara bagian akhir pekan ini,” seperti yang dikatakan NPR1. Sumber berita yang memperoleh dana publik ini hanya mencatat penembakan massal bulan lalu di Buffalo, NY, yang dilakukan oleh tersangka berusia 18 tahun yang diduga rasis yang menggambarkan dirinya sebagai “otoriter sayap kiri moderat,” dan penembakan massal mematikan sekolah di Uvalde, Texas.
Implikasi dari media jelas: Ada garis merah terang yang dapat ditarik antara “penembakan massal” bulan lalu dan kekerasan senjata yang terjadi akhir pekan ini - seperti yang terjadi di banyak akhir pekan di kota-kota besar AS.
Tapi ada sejumlah permasalahan dalam fakta yang disampaikan tentang penembakan [massal] akhir pekan ini. Kebanyakan identitas para tersangka tidak diungkapkan secara publik, dan dengan demikian, sulit untuk mengesampingkan apakah penembakan itu terkait dengan pertikaian antar geng atau terkait kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, tidak semua peristiwa dapat dimasukkan ke dalam kategori “penembakan massal” di bawah ketentuan paling mendasar secara teknis, karena basis data paling ketat dengan mengikuti standar sejarah yang memenuhi syarat bahwa harus ada ‘3 atau lebih’ atau ‘4 atau lebih’ orang yang terbunuh (Mother Jones dan The Violence Project, khususnya).
Karena ada unsur ‘penyusupan misi’ dari media yang berkembang seiring dengan agenda pengendalian senjata dari Partai Demokrat, demikian juga kompromi definisi istilah [penembakan massal]. Al Jazeera Labs telah menyusun bagan yang berguna untuk menjaga definisi ini agar tetap lurus. Jumlah “penembakan massal” yang dilaporkan di AS secaradramaris menjadi sangat bervariasi. Pada tahun 2021, misalnya, apakah hanya ada 6 penembakan massal atau 818 penembakan massal, tergantung dari definisi yang digunakan.
Tinjauan singkat tentang fakta yang diketahui mengenai “penembakan massal” yang dilaporkan untuk akhir pekan ini menunjukkan perbedaan definisi ini (dalam analisis data, menentukan apakah suatu kasus memenuhi syarat sebagai peristiwa yang dikenal sebagai ‘pengkategorian’). Di Phoenix, ada satu kematian yang diketahui, tetapi sembilan orang dibawa ke rumah sakit dengan luka tembak. Dengan demikian tidak akan memenuhi syarat di bawah definisi yang ketat ini.
Di Summerton, Carolina Selatan, delapan orang ditembak, dan satu orang tewas, pada pesta kelulusan Sabtu malam. Polisi menggolongkan serangan itu sebagai penembakan dalam kendaraan yang melintas yang kemungkinan merupakan “insiden terkait aktifitas geng.” Itu juga akan gagal memenuhi syarat [sebagai penembakan massal] karena berbagai alasan.
Di Chattanooga, ada tiga tewas dan 14 terluka dalam tembakan di sebuah klub malam dalam serangan yang dilakukan oleh “beberapa pelaku penembakan.” Insiden penembakan tampaknya mengandung ciri kekerasan terkait geng, oleh karena itu, tidak sesuai dengan pemahaman sebagai “tidak pandang bulu.”
Di Philadelphia, sebuah kota dengan undang-undang kontrol senjata yang ketat dan sejarah kekerasan senjata yang merajalela, tawuran di jalan berubah menjadi baku tembak yang menewaskan tiga orang dan melukai dua belas lainnya. Komisaris polisi menyatakan dia tidak tahu apakah baku tembak yang terjadi “antara sekelompok orang, atau apakah ini terkait dengan kelompok geng atau gerombolan lain.” Ini memiliki ciri-ciri kekerasan terkait geng; tetapi bagaimanapun juga, tampaknya tidak sesuai dengan pemahaman sebagai “tidak pandang bulu.”
Intinya adalah bahwa setiap serangan akhir pekan ini secara teknis akan gagal memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai “penembakan massal” di bawah definisi yang ketat. Meskipun demikian, sumber berita publik seperti NPR terus menghasut statistik seperti AS telah “melihat setidaknya 246 penembakan massal,” menurut Arsip Kekerasan Senjata (definisi di atas sebagai “4 atau lebih tewas atau terluka” yang bisa “di mana saja” untuk alasan “apa pun”), tanpa menjelaskan latar belakang peristiwa.
Media AS secara historis mengabaikan kekerasan senjata terkait geng dan insiden kekerasan dalam rumah tangga karena alasannya sederhana karena kejelasan fakta itu tampaknya tidak mendukung kasus pengendalian senjata [yang media ingin cekokan ke masyarakat]. Di negara dengan 393 juta senjata api dan 150 juta warga negara yang taat hukum yang memiliki akses ke senjata api, akan sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa kekerasan yang terjadi adalah kesalahan para pemilik senjata [secara umum], dan oleh karenanya, masyarakat harus kehilangan kemampuan untuk membela diri dari serangan para penjahat bersenjata lengkap.
Dengan demikian, dorongan pengendalian senjata cenderung didorong oleh peristiwa penembakan yang ditiup-tiupkan dan semua penembakan di tempat umum. Disesatkan di tengah berita utama Buffalo dan Uvalde sebagai “penembakan massal” lainnya dengan narasi yang menyesatkan untuk mereka yang mendukung pengendalian senjata.
Ada tersangka penembakan di Subway NYC (New York City), Frank Robert James, yang menembaki penumpang yang lengah saat berada di stasiun Brooklyn. Pelaku adalah seorang pria Afrika-Amerika yang masuk dalam daftar pantauan teror FBI hingga tahun 2019. Terjadi penembakan di gereja Laguna Woods, yang dilakukan oleh seorang pria bersala dari Cina yang setia kepada Partai Komunis Cina yang marah terhadap separatis Taiwan. Ada pembunuhan massal yang dilakukan oleh buronan Gonzalo Lopez yang melarikan diri, seorang pembunuh terpidana, yang membunuh lima orang dari satu keluarga dan mencuri truk pickup putih korban dari kabin liburan akhir pekan sebelum dia diburu yang kemudian ditembak mati oleh polisi. Ada penembakan di rumah sakit Tulsa yang dilakukan oleh seorang pria Afrika-Amerika terhadap dokternya, dan menewaskan seorang dokter lain, seorang resepsionis dan seorang pasien.
Ini bukan momok kekerasan yang didorong oleh “supremasi kulit putih” yang terus-menerus disuarakan oleh media [utama] Amerika. Sesungguhnya, statistik kejahatan memperkirakan bahwa hampir tiga perempat dari “penembakan massal” dilakukan oleh pria Afrika-Amerika (orang hitam Amerika). Tampaknya hanya satu dari penembakan massal profil tinggi baru-baru ini yang dilakukan oleh “laki-laki kulit putih,” dan itu individu yang berpaham “sayap kiri otoriter” yang diakui pelaku itu sendiri, seperti disebutkan di atas.
Anomali statistik lain tentang “penembakan massal” baru-baru ini adalah bahwa beberapa di antaranya dilakukan dengan senapan laras panjang AR (Armalite Rifle bukan Assault Rifle yang secara sembarangan disebut-sebutkan media): penembakan massal Buffalo, penembakan Uvalde, penembakan buronan Texas, dan penembakan di rumah sakit Tulsa termasuk yang paling menonjol. Everytown for Gun Safety, sebuah kelompok advokasi pengendalian senjata, melaporkan hanya 16 persen penembakan massal yang dilakukan dengan senapan laras panjang AR dari 2009-2022.
Merupakan suatu kebetulan yang aneh untuk muncul di tengah pecahnya “penembakan massal” (dan penembakan yang dikategorikan secara menyesatkan) yang memuncak ketika Presiden Biden mengumumkan sebuah inisiatif untuk mengembalikan “Larangan Senjata Serbu”, terutama karena hasil dari pemberlakuan larangan-larangan seperti itu meragukan dan FBI melaporkan bahwa hanya sebagian kecil pembunuhan dengan senjata api yang dilakukan dengan semua jenis senjata laras panjang (sebenarnya, jauh lebih sedikit daripada pembunuhan yang dilakukan dengan pisau atau bahkan pembunuhan yang dilakukan dengan ‘tangan dan kaki’).
Larangan Senjata Serbu telah disahkan pada tahun 1994 dan berakhir pada tahun 2004. Tampaknya tidak berdampak besar pada insiden penembakan massal.
Ini tidak berarti bahwa status quo dapat diterima. Ada peningkatan dalam “penembakan massal” yang dapat diverifikasi sejak 2012. Penembakan di sekolah dasar Uvalde, Texas yang menewaskan 19 anak dan dua guru adalah yang paling disorot. Sementara kaum kiri yang otoriter telah terpaku pada kemampuan tersangka berusia 18 tahun untuk mendapatkan senjata api, ada sejumlah pertanyaan serius tentang keamanan sekolah dan respons polisi yang tidak disinggung.
Peristiwa penembakan massal yang tampaknya menggemparkan hati nurani publik adalah peristiwa di mana para korban diketahui tidak bersenjata, seperti di tempat yang memasang plang “zona bebas senjata” seperti di sekolah-sekolah. Jika Anda menggunakan kriteria yang digunakan oleh para ahli kekerasan senjata, telah terjadi tiga belas penembakan massal yang mematikan di Amerika Serikat di tahun 1966. Itu bukan dimaksudkan membuat peristiwa-peristiwa itu menjadi kurang tragis, tetapi itu sekedar menunjukkan bahwa solusinya tidak terletak pada perampasan hak para pemilik senjata yang taat hukum dari senjata api untuk pertahanan pribadi, tetapi lebih tepatnya usaha mengidentifikasi penyakit mental dan orang-orang muda yang rentan melakukan kekerasan massal.
Namun ada satu solusi yang tampaknya tidak mau dilakukan oleh para pendukung pengendalian senjata yaitu: Mempersenjatai para guru atau petugas keamanan sekolah. Seperti yang diperlihatkan oleh pakar kekerasan senjata John Lott Jr. di dalam penelitian tahun 2019, “Belum ada satu pun kasus dimana seseorang terluka atau terbunuh akibat penembakan, apalagi penembakan massal di depan umum, antara pukul 06.00 pagi hingga tengah malam di sebuah sekolah yang membiarkan para guru membawa senjata.”
Media arus utama jelas terlihat bukan menawarkan jalan keluar yang benar tetapi main mendorongan untuk melucuti para pemilik senjata yang taat hukum dari hak Amandemen Kedua mereka dalam kepemilikan senjata. Hal tersebut malahan akan membuat lebih banyak warga Amerika tidak berdaya mempertahankan diri dari serangan bersenjata, solusinya yang memungkinkan adalah dengan mengirim peringatan kepada setiap calon pembunuh massal bahwa siapa pun yang berniat melakukan penembakan terhadap anak-anak yang tidak bersalah dapat berharap untuk langsung berhadapan dengan perlawanan kekuatan mematikan.
Diterjemahkan bebas dari artikel Kyle Becker, 6 Juni 2022
National Public Radio, kantor berita sayap kiri.