Bagaimana Presiden-Presiden Dari Partai Demokrat Seperti Clinton, Obama Dan Biden Menyebabkan Krisis Di Ukraina
Presiden Clinton, Obama dan Biden patut disalahkan atas kekacauan di Ukraina.
Sejak jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, presiden-presiden AS dari kedua partai politik besar sama-sama telah terbentur dengan berbagai macam kendala, kegagalan-kegagalan, dan masalah-masalah dalam kebijakan luar negeri. Tetapi hanya sedikit, jika ada, yang separah dengan kekacauan penanganan dari partai Demokrat terhadap situasi di Ukraina.
Setelah beberapa dekade di bawah penindasan tangan rezim Soviet yang brutal, Ukraina sekarang berdiri di ambang perang dengan Rusia, dan untuk saat ini, tampaknya tidak ada yang memberikan bantuan.
Meskipun hubungan dan sejarah antara Rusia dan Ukraina sangat kompleks, kegagalan kepemimpinan presiden-presiden dari partai Demokrat, serta kontribusi mereka terhadap krisis saat ini, sangat jelas sekali.
Kesalahan Clinton Dalam Masalah Nuklir
Pertama, keputusan yang membawa bencana dari Presiden Bill Clinton untuk mendukung perlucutan senjata nuklir Ukraina, pilihan yang didukung oleh banyak anggota partai Demokrat di kongres saat itu dan sejak itu.
Pada saat jatuhnya Uni Soviet, Ukraina memiliki persenjataan nuklir terbesar ketiga di dunia. Ukraina memiliki sekitar 5.000 senjata nuklir, termasuk, seperti yang dicatat New York Times dalam sebuah laporan awal bulan ini, "rudal jarak jauh yang membawa hingga 10 hulu ledak termonuklir, masing-masing jauh lebih kuat daripada bom atom yang meratakan Hiroshima."
Pada tahun 1992, Ukraina menandatangani Protokol Lisbon, yang menyetujui untuk mengembalikan senjata nuklir yang diwarisi dari pemerintah Soviet kembali ke Rusia. Tetapi anggota parlemen Ukraina segera setelah itu semakin menyuarakan keprihatinan serius atas perlucutan senjata nuklir secara total, sebagian besar karena kekhawatiran konflik dengan Rusia di masa depan.
Sepanjang tahun 1992 dan 1993, Rusia dan Gedung Putih di bawah Clinton berupaya keras dalam meyakinkan Ukraina untuk menyerahkan semua senjata nuklirnya. Setelah tekanan politik yang kuat, Ukraina menyerah pada tahun 1994, tetapi hanya setelah Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris setuju untuk melindungi Ukraina jika terjadi serangan terhadap kedaulatan negara di masa depan, beserta dukungan keuangan dan sejumlah jaminan lainnya.
Ukraina membongkar dan menyerahkan semua senjata nuklirnya, memberikan Presiden Clinton dan Rusia kemenangan secara diplomatik. Keputusan tersebut telah menghantui Ukraina sejak saat itu.
Seandainya Ukraina mempertahankan setidaknya sebagian dari persenjataan nuklirnya, kecil kemungkinannya bahwa Rusia akan mempertimbangkan invasi saat ini.
Janji-janji Yang Diingkari
Bagian paling penting dari perjanjian Ukraina di tahun 1994 untuk melucuti senjata adalah janji dari Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris untuk melindungi Ukraina dari agresi yang tidak beralasan. Perjanjian awal, yang disebut Memorandum Budapest tentang Jaminan Keamanan, kemudian diafirmasi kembali pada tahun 2009 oleh Presiden Barack Obama.
Namun, pada tahun 2014, Obama hanya bisa menonton ketika para pemberontak yang didukung oleh Rusia, ditambah dukungan dari pasukan Rusia sendiri, mengambil alih kuasa di Krimea, satu wilayah di Ukraina. Pemerintah yang didukung pemberontak kemudian memisahkan diri dari Ukraina dan menganeksasi1 di bawah pemerintahan Vladimir Putin di Rusia.
Pemerintahan Obama, yang bekerja bersama dengan para pejabat dari Uni Eropa, menanggapi dengan mengeluarkan sanksi dan membekukan aset-aset milik Rusia. Mereka juga memberlakukan pembatasan perjalanan. Namun, Obama tidak menepati janji yang dibuat Amerika Serikat pada tahun 1994 dan 2009 untuk melindungi kedaulatan negara Ukraina.
Tentu saja, Putin tidak bergeming, dan Krimea telah menjadi bagian dari Rusia sejak saat itu.
Vakum Kekuatan 'Hijau' Besar
Presiden Obama dan wakil presidennya saat itu, Joe Biden, adalah penentang sengit industri bahan bakar fosil dalam kedua masa jabatannya. Mereka menentang pipa Keystone XL, memaksa negara-negara untuk mengadopsi energi "terbarukan" seperti dari angin dan sinar matahari, mengeluarkan peraturan-peraturan yang tak terhitung jumlahnya yang menutup ratusan pembangkit listrik tenaga batu bara, dan membatasi pengeboran dan eksplorasi gas alam di lahan publik—kebijakan yang sekali lagi diadopsi Amerika Serikat di bawah Presiden Biden.
Selain berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi AS, kebijakan ini menyebabkan banyak negara beralih ke Rusia untuk membeli energi dengan biaya murah.
Alih-alih mengimpor bahan bakar fosil dari perusahaan-perusahaan Amerika, Uni Eropa malah menjadi tergantung pada Rusia, yang sekarang menjadi sumber gas alam nomor satu di Eropa, memasok sekitar 41% dari pasokan di kawasan tersebut. Rusia juga merupakan pemasok minyak mentah dan batubara terbesar.
Karena kegagalan pemerintahan Biden dalam kepemimpinan, Amerika Serikat tidak pernah terlihat sebegitu lemah.
Karena sebagian besar Eropa sekarang bergantung pada energi dari Rusia, maka Eropa tidak sanggup untuk melawan serangan Rusia di Ukraina—atau di tempat mana pun.
Pemerintahan Trump berusaha meyakinkan negara-negara Eropa untuk bergantung pada produksi gas alam dari Amerika Serikat yang tersedia banyak sebagai gantinya, tetapi seruan semacam itu sebagian besar gagal karena para pemimpin Eropa tahu Donald Trump tidak akan menjadi presiden selamanya, dan pemerintahan dari partai Demokrat akan dengan cepat berusaha mengurangi pengembangan bahan bakar fosil.
Atau, dalam kata-kata seorang ahli energi yang menulis untuk Kepentingan Nasional pada tahun 2019, "Mengapa bertaruh pada “ladang” pasokan [gas alam cair] dari AS di seberang lautan Atlantik jika masih ada keraguan besar kalau penerus Presiden Trump dari Partai Demokrat—terutama karena kandidat 2020 mendukung apa yang disebut 'Green New Deal' dengan antusiasme—akan melanjutkan rencana tersebut?"
Afghanistan
Tentu saja, daftar kegagalan-kegagaln kebijakan presiden dari Partai Demokrat yang akan lengkap tanpa menyebutkan penarikan pasukan tentara AS oleh Presiden Biden yang membawa bencana di Afghanistan pada tahun 2021.
Seperti laporan baru-baru ini dari Partai Republik di Komite Senat urusan luar negeri secara akurat meringkas, "Pemerintahan Biden menyia-nyiakan waktu yang berharga, mengabaikan intelijen dan rekomendasi dari orang-orang di lapangan, dan menolak dukungan bipartisan2 untuk memberi sumber daya agar mereka sukses. Dalam prosesnya, penarikan pasukan yang gagal telah menodai reputasi dan kredibilitas Amerika."
Dan Ukraina sekarang membayar harganya.
Karena kegagalan pemerintahan Biden dalam kepemimpinan, Amerika Serikat tidak pernah terlihat begitu lemah. Putin tentu saja mengetahui ini, dan dia menggunakan kesempatan untuk memperluas warisannya [untuk Rusia], bersamaan dengan [perluasan] perbatasan negara Rusia.
Partai Republik tidak diragukan lagi telah membuat beberapa kesalahan kebijakan luar negeri dalam beberapa dekade terakhir. Tetapi untuk perihal kekacauan yang kita saksikan di Ukraina hari ini, Partai Demokrat, terutama presiden Clinton, Obama, dan Biden, memikul kesalahan terbesar. Rakyat Ukraina menderita akibat kegagalan mereka.
Diterjemahkan secara bebas dari How Democratic presidents Clinton, Obama and Biden caused the crisis in Ukraine, Justin Haskins, 24 Februari 2022.
Penggabungan atau pencaplokan dengan paksa wilayah negara lain untuk disatukan dengan negara sendiri.
Dari dua partai.