Peristiwa penembakan massal terus terjadi, tidak terbatas di sekolah-sekolah tetapi juga di tempat-tempat ibadah, tempat-tempat umum lainnya. Dalam waktu yang relatif singkat akhir-akhir ini beberapa penembakan massal terjadi kembali. Tetapi tidak semua penembakan massal menjadi sorotan utama khususnya bagi media massa utama. Hanya penembakan massal yang memenuhi kriteria tertentu di dalam standar media massa utama yang diberitakan. Pertanyaannya mengapa?
Coba ditelusuri dalam beberapa minggu ini berapa penembakan massal terjadi di antaranya: penembakan massal di Buffalo, New York, penembakan massal di Uvalde, Texas, dan penembakan massal di Laguna Woods, California. Dari ketiga peristiwa tersebut penembakan massal di Uvalde, Texas yang mendapat reaksi emosional dari masyarakat dan para politikus khususnya politikus dari partai demokrat, termasuk presiden dan wakil presiden Amerika Serikat yang serta merta serentak menyanyikan lagu lama yang sama berulang-ulang. Bahkan, calon presiden yang gagal, Beto O’Rourke dari Texas untuk memajukan agenda politik dan ketenarannya melakukan tindakan yang tidak tahu malu dalam menginterupsi pertemuan Gubernur Texas, Greg Abbott yang sedang menyampaikan bela sungkawa dan keprihatinan kepada keluarga para korban. Alhasil, Beto O’Rourke diusir keluar ruangan dan mendapat caci maki dari hadirin.
Seperti biasanya, alih-alih memberikan ucapan bela sungkawa dan simpati kepada keluarga para korban, para politikus yang umumnya para demokrat dengan sigap menyerukan kembali usaha pengendalian senjata (gun control). Berita penembakan massal yang sesuai dengan muatan narasi politik tertentu terus menerus dieksploitasi sehingga menjadi bahan bakar untuk meneruskan agenda pengendalian senjata (gun control) dari para elit politik.
Benar adanya argumen yang mengatakan bahwa peristiwa penembakan massal yang mengambil korban anak-anak akan lebih panas dan membangkitkan emosi tinggi. Inilah alasan utama sorotan berita yang akan menjadi topik berbulan-bulan sambil menunggu terjadi penembakan massal berikutnya yang memenuhi kriteria yang sama untuk dieksploitasi. Penembakan massal yang berhasil dihentikan apalagi dihentikan oleh anggota masyarakat yang bersenjata dengan cepat hilang dari peredaran. Penembakan massal yang terjadi kurang dari dua minggu lalu di gereja Geneva Presbyterian - Laguna Woods, California bahkan tidak terdengar oleh kebanyakan orang.
Penembakan massal tersebut berhasil dihentikan karena perlawanan dari pendeta dan para anggota jemaat gereja. Seorang anggota jemaat yang berprofesi sebagai dokter menerjang sang pelaku saat pelaku mulai menembaki jemaat yang mengakibatkan kematian sang dokter, Dr. John Cheng.
Menganalisa penembakan massal yang terjadi di sekolah dasar Robb (Robb Elementary School), Uvalde, Texas, 19 korban anak-anak dan 2 orang guru meninggal serta belasan lainnya luka-luka. Ada keragu-raguan bahwa peristiwa penembakan massal in merupakan “false flag” atau peristiwa buatan atau peristiwa yang sudah direncanakan terjadi untuk tujuan politik, seperti peristiwa penembakan massal serupa di sekolah dasar Sandy Hook di kota Newton, Connecticut yang dicurigai adalah teater telah menjadi kontroversi selama bertahun-tahun.
Hari ini dimana berita menjadi simpang siur dan integritas dari kantor-kantor berita serta para pembawa beritanya sekalipun sudah dipertanyakan, sulit untuk mendapatkan kejelasan sepenuhnya.
Sulit untuk mempercayai para politikus demokrat dan menghapuskan kecurigaan dari keterlibatan mereka di semua teater penembakan massal, bukan mengatakan mereka merancang peristiwa tersebut, walau ada teori-teori yang mengacu ke arah itu, tetapi ketidakpedulian mereka sangat jelas dalam mencegah peristiwa penembakan massal terjadi. Sikap prihatin mereka yang tidak tulus jelas terlihat dalam perilaku dan kebijakan-kebijakan politik yang mereka terapkan menyangkut kepada kasus penembakan massal. Ada istilah yang terkenal yang acapkali dipakai oleh politikus demokrat, “never let a good tragedy go to waste” atau “jangan biarkan tragedi sia-sia tanpa dimanfaatkan”.
Terlepas dari dugaan atau kecurigaan, satu pertanyaan yang sangat perlu dipertanyakan di tengah hingar bingar benar atau tidaknya suatu berita. Sesuatu yang janggal terjadi kembali seperti yang terjadi di peristiwa penembakan massal di SMA Marjorie Stoneman Douglas di kota Parkland, Florida. Di kedua peristiwa penembakan massal ini petugas kepolisian bersenjata tidak segera menyerbu masuk untuk menyelamatkan para korban melainkan “menunggu” di pelataran parkir sementara pelaku penembakan dengan bebas menembaki para siswa. Setelah hampir satu jam berlangsungnya pembunuhan yang memakan korban banyak ini, barulah para petugas bergerak memasuki tempat kejadian.
Penembakan massal di sekolah dasar Robb ini, para orang tua menyaksikan para petugas bergerombol di pelataran parkir sementara di dalam sekolah penemabakan terjadi. Para orang tua yang sangat mengkuatirkan keselamatan anak-anak mereka berteriak-teriak kepada para petugas untuk menghentikan penembakan tetapi tidak mendapatkan reaksi seharusnya dari para polisi, membuat para orang tua tidak bisa berdiam diri saat anak-anak mereka menjadi sasaran peluru. Mereka bergegas berlari menuju ke pintu gerbang sekolah, US Marshal (aparat elit kepolisian federal) bukan saja tidak membantu para orang tua yang panik melainkan memborgol seorang ibu yang berlari histeris dalam upaya menyelamatkan anaknya di dalam sekolah, menyemprotkan pepper spray (cairan lada) kepada seorang ayah, dan seorang ayah lainnya ditelikung ke tanah sementara anak perempuannya yang berusia 10 tahun tewas di dalam sekolah. Apa yang membuat para petugas yang bersenjata lengkap dan terlatih ini tidak bertindak secepat mungkin melainkan membiarkan penembak massal ini bebas melakukan aksinya selama 40 menit lebih? Apakah berlebihan bila ada teori-teori yang mengatakan peristiwa ini sudah di dalam perencanaan atau paling tidak menjadi suatu tragedi yang dibiarkan terjadi untuk digunakan sebagai bahan bakar politik?
Saat dipertanyakan keadaan itu, Steve McCraw direktur dari Departmen Keselamatan Publik Texas berdalih, bahwa para polisi bergerak cepat dan berhasil memojokkan pelaku di dalam satu ruang kelas. Benar, dipojokkan di dalam satu ruang kelas bersama dengan belasan anak-anak dan guru mereka. Hal tersebut tidak lebih dari mengurung seekor singa kelaparan bersama dengan para kelinci di dalam kandang yang sama. Para orang tua lebih memiliki nyali hanya berbekal keberanian untuk menyelamatkan anak mereka tanpa jaket anti peluru dan tanpa senjata menyerbu ke pintu gerbang sekolah, sedangkan para polisi dengan persenjataan lengkap dan mengenakan jaket anti peluru tidak lebih hanya penonton, dan lebih buruknya penghambat bagi para orang tua yang rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan anak-anak mereka.
Kehilangan anak di dalam peristiwa seperti ini sudah sangat menyakitkan, dan yang menambah kesakitan adalah dijadikan tunggangan politik. Para politikus yang selama bertahun-tahun memimpikan masyarakat tanpa senjata, tentu saja mereka mendapat pengecualian dengan keteresediaan para pengawal pribadi dan hak istimewa dalm kepemilikan senjata bahkan atas penyalahgunaan senjata seperti yang dilakukan oleh Hunter Biden, anak dari Joe Biden sang presiden. Melakukan tindakan pelanggaran berat (felony) dengan berbohong di dalam upaya membeli senjata kemudian membuang senjata tersebut di dekat sekolah.
Bila memang tulus keinginan untuk melindungi masyarakat khususnya anak-anak di sekolah, para politikus demokrat ini tidak berulang-ulang mensabotase dan menolak usulan-usulan dalam upaya memperketat dan mengamankan sekolah-sekolah. Chuck Schumer, pemimpin mayoritas senat dari partai Demokrat dengan tegasnya menolak proposal keamanan sekolah dan sebaliknya ngotot untuk mengeluarkan aturan pelarangan senjata yang lebih banyak. Ted Cruz, politikus Republican dari Texas berkali-kali mengajukan rancangan proposal untuk memberikan insentif bagi para pensiunan kepolisian dan militer untuk sukarela bergantian menjaga sekolah, juga berkali-kali mengalami penolakan. Dua hal di atas hanya sebagian kecil dari gesekan-gesekan kepentingan politik yang berakibatkan kebijakan publik mengambil korban. Karena tujuan akhir dari agenda politik partai Demokrat adalah pelucutan total seluruh masyarakat dari senjata. Beberapa dari politikus ini masih berbohong akan rencana akhir mereka tetapi beberapa sudah terang-terangan mengatakannya, seperti Beto O’Rourke dan Dianne Feinstein.
Pertanyaannya adalah apakah mereka berniat melucuti senjata para pelaku tindakan kejahatan atau para anggota masyarakat baik-baik yang bertanggung jawab dan menggunakan senjata mereka untuk melindungi diri mereka? Dari tindakan dan upaya di dalam pengendalian senjata (gun laws/gun control) jelas yang menjadi sasaran adalah masyarakat patuh hukum (law-abiding citizens) bukan para kriminal. karena sebanyak apapun hukum kepemilikan senjata dikeluarkan tidak akan berpengaruh kepada para kriminal atau mereka yang akan melakukan kejahatan bersenjata. Sesuai dengan nama julukan mereka “pelanggar hukum”, tidak ada hukum apapun yang dapat menghentikan mereka tetapi semua hukum kepemilikan senjata akan mempersulit masyarakat untuk bisa menjaga diri mereka dari menjadi korban kejahatan. Bila para politikus ini sungguh ingin memberantas apa yang mereka sebut “gun violence” atau kekerasan senjata api, sesungguhnya ini merupakan suatu istilah yang dibuat-buat karena violence bisa dilakukan dengan pisau dan palu atau benda lainnya, para petugas kepolisian mengetahui dimana para kriminal berkumpul dan memiliki senjata yang bahkan fully automatic. Tetapi itu tidak dilakukan.
Pesona yang mereka tebarkan melalui retorika-retorika yang menyesatkan melalui dukungan media massa utama telah menyesatkan masyarakat bahkan masyarakat di luar Amerika tentang esensi senjata dan fungsinya. Sering kali mengeluarkan istilah yang dibuat-buat seperti “assault rifle” yang tiap kali disebut-sebut di media yang semula dikaitkan kepada senjata tipe AR-15, tapi istilah itu agak berkurang dikaitkan kepada AR-15 karena berkali-kali terbantahkan. Dengan sembarangan mengatakan AR merupakan singkatan dari assault rifle, dan masyarakat luas menelan saja pengertian gegabah itu. AR sebenarnya merupakan kependekan dari Armalite Rifle, Armalite adalah produsen dari senjata laras panjang jenis ini. Dan AR-15 walaupun memiliki penampilan kosmetik agak mirip dengan senjata yang dipakai oleh militer Amerika - M4 Carbine, akan tetapi di luar dari kemiripan rupa kosmetik AR-15 jauh dari fitur militer M4 Carbine. Tetapi masyarakat luas tidak memiliki pengetahuan ini dan ini digunakan oleh para politikus ini yang sebagian benar tahu akan perbedaannya, sebagian lagi memang sama butanya dengan masyarakat umumnya.
Mengenai senjata yang digunakan menimbulkan suatu pertanyaan besar atas peristiwa penembakan massal di sekolah dasar Robb ini dimana sang pelaku yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak memiliki penghasilan tetapi mampu membeli senjata laras panjang Daniel Defense yang termasuk mahal dan red dot optic scope kelas Eotech yang juga tidak murah. Ditambah dengan sang pelaku sudah diawasi dan dicekal oleh FBI kemudian bisa dilepas begitu saja hingga berhasil menjalankan aksinya. Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak ditanyakan oleh masyarakat karena pengeras suara dari media dan para politikus begitu kerasnya. Emosi yang tinggi menjadi mangsa empuk untuk digunakan dan disulut menjadi kemarahan publik terhadap senjata dan para pemilik senjata yang bertanggung jawab dan tidak terlibat apa-apa menjadi kambing hitam. Ibarat terjadinya kecelakaan lalu lintas parah diakibatkan oleh pengemudi yang mabuk (drunk driving) tetapi semua pengemudi disalahkan. Tentunya berbeda perbandingannya antara senjata dengan kendaraannya, tetapi keduanya sama-sama benda tidak bergerak dan butuh orang yang menggunakannya.
Tulisan ini semata-mata pandangan penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari Repikir.
https://frankspeech.com/tv/video/uncovering-truth-about-monkeypox